. . . . . aku memang manusia biasa yang tak sempurna . . . . .

Jumat, 27 Mei 2011

artikel


PEMAKSAAN KEHENDAK ORANG TUA
TERHADAP ANAKNYA
     Anak adalah milik orang tua, jadi apapun keinginan dari orang tua, seorang anak harus mau menurutinya. Itulah paradigma yang sudah melekat di masyarakat. Paradigma masyarakat yang cenderung salah tersebut terus berkembang dan seakan menjadi panutan setiap orang tua dalam mendidik anaknya. Orang tua yang telah melahirkan anak harus bertangung jawab terutama dalam soal mendidiknya, baik ayah sebagai kepala keluarga maupun ibu sebagai pengurus rumah tangga. Keikutsertaan orang tua dalam mendidik anak merupakan awal keberhasilan orang tua dalam keluarganya. Semua orang tua pasti pernah merasakan susahnya mendidik anak-anaknya. Mereka selalu menginginkan sesuatu yang terbaik untuk anaknya, tetapi terkadang keinginan orang tua berbeda dengan keinginan anak. Dari situlah timbul suatu konflik. Kalau orang tua tidak mau memahami dan kurang bersabar dalam menyikapinya maka hal yang akan terjadi selanjutnya adalah pemaksaan kehendak orang tua terhadap anaknya tersebut. Orang tua sering merasa bahwa setiap pilihan yang diberikan untuk anaknya merupakan pilihan yang paling benar. Mereka kurang memperhatikan apa keinginan dan kesukaan dari anak-anaknya. Bahkan mereka tidak pernah menanyakan terlebih dahulu, apa yang menjadi keinginan dari anaknya. Mereka menganggap apapun yang ia pilihkan, semata-mata untuk keberhasilan masa depan anaknya.
Kesalahan dari orang tua adalah tidak melakukan pendekatan kepada anaknya mengenai masa depan yang diinginkan sang anak. Kurangnya komunikasi antara orang tua dan anak tersebut akan berdampak kurang baik terhadap masa depan anak. Tak dipungkiri saat ini banyak orang tua yang memaksakan keinginan-keinginannya pada anak-anak mereka. Padahal, anak hidup di zamannya sendiri dan kadangkala memiliki perbedaan keinginan dengan orang tua mereka. Yusef J Hilmi, Motivator Pendidikan & Smart Parenting menuturkan, “pemaksaan keinginan kepada anak cenderung karena keinginan orang tua saat masih kecil tak tercapai”. Hal ini mungkin saja terjadi, misalnya keinginan masa kecil orang tua yang bercita-cita untuk menjadi seorang dokter tetapi tidak dapat tercapai. Dan pelampiasannya adalah memaksakan anaknya untuk dapat menjadi seorang dokter sebagai ganti cita-cita dari orang tua di masa lampau yang belum bisa tercapai.
Menurut AnneAhira.com, demokrasi (kebebasan berpendapat) dalam keluarga memiliki peran yang sangat penting. Tetapi proses demokrasi dalam keluarga sering kali tidak berjalan mulus. Komunikasi dari orang tua lebih banyak berupa perintah atau kewajiban dan justru tidak menghiraukan lagi perbedaan pendapat dari anak. Orang tua terkadang akan menjadi sosok yang ditakuti anaknya, bukan lagi sosok yang dapat memahami keinginan seorang anak. Dan kembali lagi, orang tua akan memaksakan kehendaknya terhadap anak dengan dalih untuk kebaikan masa depan sang anak. Pemaksaan seperti itu tentu membuat anak merasa tidak memiliki hak untuk mengeluarkan pendapat sesuai keinginannya. Sebagai contoh saat menyekolahkan anaknya, orang tua serta merta memilih sesuai keinginannya tanpa memperhatikan keinginan dari anaknya. Padahal seharusnya orang tua bertanya dulu kepada anaknya, sekolah mana yang ia inginkan, karena semua ini akan berpengaruh terhadap kenyamanan dan semangat belajar dari sang anak dalam meraih prestasi. Untuk jenjang sekolah dasar masih bisa ditoleransi, tetapi ketika SMP atau SMA seharusnya tidak perlu dipaksa lagi. Anak sudah mulai bisa berpikir sendiri dan sudah mampu memilih suatu hal yang baik untuk dirinya sendiri. Misalnya, saat pendaftaran SMP dan SMA, sang anak pasti sudah mempunyai keinginan sendiri untuk memilih sekolah mana yang baik untuk dirinya sendiri. Dan ketika memasuki kelas 2 SMA yang dihadapkan pilihan untuk masuk jurusan IPA ataupun IPS, sang anak tentu sudah mempunyai gambaran tentang masa depan yang akan dipilih, tetapi terkadang orang tua tidak percaya dengan pilihan anaknya. Orang tua masih khawatir jika membiarkan anaknya memilih masa depannya sendiri. Dan lebih parah lagi ketika orang tua masih saja memaksa anaknya dalam hal penentuan jurusan saat memasuki jenjang perguruan tinggi. Selalu dengan dalih demi masa depan anaknya, orang tua mendominasi dalam menentukan jurusan perkuliahan tersebut. Banyak orang tua yang menginginkan anaknya masuk ke jurusan yang mereka inginkan, tanpa mengetahui apa minat dan bakat yang dimiliki oleh anak. Yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang hendak kuliah? Si anak atau justru orang tua?.
Sebagai contoh dari pemaksaan kehendak orang tua mengenai pemilihan jurusan di perguruan tinggi, yaitu saat orang tua ingin anaknya masuk Fakultas Kedokteran, menurut mereka dengan masuk ke jurusan Kedokteran masa depan anaknya akan sangat terjamin dan apabila sang anak bisa masuk ke jurusan Kedokteran tersebut maka akan kelihatan sangat bergengsi dimata orang-orang, hal itu akan membuat orang tua merasa bangga dengan jurusan anaknya. Di sisi lain, sang anak tidak ingin sedikitpun masuk ke jurusan kedokteran. Selain karena tidak berminat, anak tersebut juga sadar akan kemampuannya yang terbatas dan ia merasa akan kesulitan jika mengikuti perkuliahan di Fakultas Kedokteran. Perbedaan persepsi antara orang tua dan anak tersebut akan terus menerus menimbulkan konflik. Ada lagi contoh kasus dari orang tua yang menginginkan anaknya untuk masuk ke jurusan Keguruan (FKIP). Lagi lagi dengan dalih untuk keberhasilan masa depan sang anak. Menurut orang tua tersebut, jika anaknya masuk ke jurusan keguruan, maka saat lulus kuliah nanti akan mudah mencari pekerjaan, yaitu menjadi seorang guru yang banyak dibutuhkan baik di sekolah – sekolah maupun di bimbingan belajar. Apalagi sekarang dengan adanya program sertifikasi, guru-guru bisa mendapatkan gaji yang berlipat lipat banyaknya. Orang tua menganggap jurusan tersebut menjadi satu-satunya jurusan yang terbaik bagi anaknya. Pandangan dari orang tua tersebut memang ada benarnya juga, tetapi yang harus diperhatikan, apakah sang anak mempunyai keinginan yang sama dengan orang tua? Apakah anak tersebut mau dan berminat masuk jurusan yang diinginkan orang tuanya?. Tidak. Setiap hari menjelang pendaftaran SNMPTN, orang tua dan anak selalu berselisih pendapat tentang jurusan apa yang akan dipilih dan tidak pernah ada penyelesaian yang baik untuk keduanya.
Kemudian ada lagi contoh ketika sang anak ingin kuliah di luar kota tetapi orang tua lagi lagi melarangnya. Orang tua menganggap kuliah di luar kota itu hanyalah buang-buang uang saja. Biaya kuliah sudah mahal ditambah lagi biaya hidup yang akan menghabiskan banyak uang, berbeda jika sang anak kuliah di dalam kota yang tentunya akan lebih ekonomis. Selain itu apabila anaknya kuliah di dalam kota maka orang tua akan lebih mudah memberikan pengawasan dalam memantau pergaulan anaknya. Di sisi lain, sang anak sangat menginginkan kuliah diluar di luar kota, ia ingin masuk universitas favorite di luar kota yang sudah menjadi impiannya sejak lama. Anak tersebut juga ingin belajar mandiri dengan kuliah di luar kota. Ia tidak ingin terus-menerus bergantung pada kedua orang tuanya. Ia berpikir, jika dirinya kuliah di luar kota, tentu akan mendapatkan lebih banyak pengalaman hidup dibandingkan kuliah yang hanya di dalam kota tanpa ada suatu perubahan apapun pada hidupnya. Tetapi orang tuanya tetap tidak setuju dengan pendapat anaknya tersebut, mereka tetap tidak mengijinkan anaknya untuk ke luar kota. Orang tuanya tetap ingin anaknya kuliah di dalam kota dan harus memilih jurusan yang mereka pilihkan. Sang anak merasa sangat tertekan, ia sudah tidak bisa lagi berbuat sesuatu untuk impiannya, mau tidak mau ia mengikuti semua perkataan dari orang tua yaitu memilih jurusan sesuai keinginan orang tua. Dengan keputusan itu ia berharap dapat membuat bangga orang tuanya tersebut tanpa menghiraukan keinginannya sendiri. Padahal seorang anak  mempunyai cita – cita dan mimpinya sendiri yang mungkin berbeda dengan keinginan orang tua. Dari perbedaan keinginan tersebut seharusnya orang tua tidak perlu memaksakan kehendaknya terhadap anak. Dalam hal ini, anak sudah dewasa, sudah mampu memilih dan menentukan jurusan mana yang terbaik untuk masa depannya sendiri tentunya yang sesuai dengan minat dan kemampuan yang ia miliki.
Contoh lain tentang pemaksaan kehendak orang tua terhadap anaknya yaitu dalam hal mememilihkan jodoh sampai menikahkan anaknya. Ketika orang tua melihat anaknya yang sudah cukup umur untuk menikah, tetapi belum juga menikah maka mereka akan serta-merta dalam memilihkan jodoh untuk anaknya tersebut. Niat dari orang tua sebenarnya baik, yaitu agar anaknya segera mempunyai keluarga baru dan orang tua tentunya tidak ingin anaknya menjadi perawan/perjaka tua yang tidak segera menikah. Tetapi terkadang jika pilihan orang tua tidak sesuai dengan pilihan sang anak maka akan timbul suatu pemaksaan lagi. Seorang ibu berkata pada anak perempuannya, “menikahlah dengan anak teman ibu, dia baik hati dan sudah mapan pekerjaannya, dia pasti akan menjadi suami terbaik untukmu”. Orang tua tersebut menginginkan anaknya menikah dengan lelaki pilihannya tanpa melakukan pendekatan dengan anaknya. Bahkan orang tua tidak mengetahui bahwa anaknya sudah memiliki kekasih pilihannya sendiri. Kemudian sang anak merasa kebingungan dan tertekan karena orang tua terus memaksanya untuk menikah dengan lelaki pilihan orang tuanya. Sebenarnya hatinya memberontak, tapi ia tak kuasa memberontak. Hubungan yang dijalani bersama kekasihnya dengan penuh cinta kasih dan saling pengertian satu sama lain, harus kandas karena harus menuruti kemauan orang tuanya.
Contoh lain adalah adat keluarga dari Suku Sasak (di pulau Lombok), perjodohan merupakan salah satu bentuk perkawinan yang sering dilakukan oleh masyarakat adat Sasak di masa lampau. Paling tidak ada tiga alasan orang tua melakukan perjodohan pada anak-anak mereka. Pertama, untuk memurnikan keturunan dari sebuah keluarga, biasanya keluarga keturunan bangsawan tidak mau darahnya bercampur dengan darah orang lain yang bukan bangsawan atau terutama dari status sosialnya lebih rendah. Kedua, untuk melanggengkan hubungan persahabatan antar kedua orang tua mempelai, dan yang ketiga karena alasan-alasan tertentu, diantaranya adalah akibat kesewenang-wenangan rezim kolonial, dalam hal ini kolonial Jepang di Lombok. Jika kelak anak yang telah dijodohkan ini menolak melanjutkan perkawinannya, maka orang tua akan memaksa anak-anaknya untuk tetap melanjutkan perkawinan itu, hal kemudian menimbulkan tradisi kawin paksa. Akan tetapi jika sang anak tetap menolak maka orang tua akan melakukan pengusiran kepada anaknya ke desa tertentu.
Kenapa begitu banyak orang tua masih selalu ingin mengatur hidup anak-anaknya? Apakah karena mereka berpegang pada keyakinan bahwa salah satu tugas orang tua adalah menikahkan anak-anaknya? Tapi apakah semua itu harus dengan pemaksaan? Menjodohkan anak dengan orang yang tidak dicintainya merpakan bentuk pemaksaan kehendak orangtua pada anak yang jelas-jelas akan menciderai hati anak, apapun dalihnya. Jika orangtua berdalih demi kebahagiaan anak, apakah mereka yakin bahwa itu bukan semata dalih untuk kepentingan orang tua? Menurut Pera Sopariyanti dalam Perspektif Fiqh dan Perlindungan Anak, Perintah orang tua yang tidak dapat ditaati adalah jika perintah itu hanya akan menyengsarakan atau menciderai hak-hak kemanusiaan anak. Jika si anak merasa disengsarakan dengan perintah tersebut, maka ia berhak untuk menolaknya. Misalnya dalam kasus pernikahan yang menyebabkan perselisihan antara orang tua dan anaknya. Sang anak menyatakan bahwa ia telah memilih seorang laki-laki yang dipandang terbaik untuk dirinya serta merasa cocok dengan laki-laki pilihannya. Sementara orang tuanya berpendapat lain dan tidak menyetujui pilihan si anak, maka wali hakimlah yang berhak untuk memutuskannya.
Berbagai contoh kasus pemaksaan kehendak orang tua tersebut, pada dasarnya justru akan berdampak buruk bagi psikologis anaknya. Anak akan selalu merasa tertekan, stress bahkan frustasi. Hal itu akan berpengaruh pada proses pembentukan kepribadiannya. Bisa saja ia akan menjadi pribadi yang kurang percaya diri, pesimis, takut salah, dan tidak berani mengambil keputusan. "Pola asuh yang salah, seperti sikap yang otoriter dan overprotektif dari orangtua bisa memicu munculnya gangguan perilaku dan emosional pada anak" kata pakar kejiwaan dr. Lely Setyawati, Sp.K. Tekanan tekanan dari orang tua juga akan menimbulkan kegagalan pada anak. Alasan orang tua yang semata-mata untuk kebahagiaan masa depan anaknya tersebut kini berbalik, semua itu justru akan membuat masa depan sang anak menjadi suram. Anak tidak lagi mempunyai harapan untuk bisa meraih mimpi-mimpinya. Hanyalah penyesalan yang akan terus menerus menghantui hidup sang anak.
Jadi, kalau sudah begini, semua ini kesalahan siapa?. Ada strategi agar semua itu  tidak terjadi yaitu dengan adanya pendekatan dan sikap saling terbuka antara orang tua-anak. Orang tua harus mampu memahami keinginan anaknya dan menghargai pendapat dari sang anak. Sudah saatnya orang tua percaya sepenuhnya kepada anak. Biarlah anak yang menentukan masa depannya sendiri, tidak perlu ada pemaksaan kehendak lagi dan sebaiknya orang tua hanyalah mengarahkan anaknya menuju masa depan cemerlang yang merupakan pilihan dari sang anak tersebut.         







REFERENSI
ovhiyechappedtz.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar